LANIGWE, WANITA PERKASA DARI KANGGIME
Cerimas Heru*)
Bukit-bukit di sekitar Kanggime nampak gelap. Bulan tinggal sepotong.
Di kejauhan, dari pintu honai (rumah tradisional Papua) yang setengah
terbuka, terlihat nyala api menari-nari ditiup angin, yang menggigil
kedinginan. Malam itu, Lanigwe, istri Manasye Wanimbo, tidak seperti
biasanya, memohon kepada suaminya agar pergi memanggil tua-tua gereja
segera datang menjumpainya. Lanigwe ingin bertemu mereka.Sesaat kemudian Manasye pergi memanggil tua-tua gereja Kanggime, seperti Bapa Id lambe, Mitur Towolom,
Ambe Wonda, dan gembala Musa Gire, untuk bertemu dengan Lanigwe.
Di dalam honai yang sederhana, dengan cahaya yang bersinar kuning temaram, wajah Lanigwe yang berpeluh terlihat mengkilat oleh sinar nyala api dari tungku tanah liat. Ia duduk sendirian di tengah honai, sambil terus menjaga agar api itu tidak padam, sedang di luar udara begitu dingin.
Di sekitar tempat duduk Lanigwe terlihat daun-daun hijau yang sudah dipanaskan dengan api sebelumnya, kain sarung bekas yang masih bersih, dua buah sembilu tajam – pisau dari potongan bambu yang sudah ditipiskan — dan beberapa noken (tas tradisional) besar. Semuanya diletakkan di atas pinde, sejenis gelagah hutan, yang dianyam rapi sebagai alas di dalam honai.
Kemudian Lanigwe mulai bercerita, sebentar lagi dalam hitungan jam, ia akan melahirkan anak keduanya. Ia berharap semuanya berjalan dengan lancar.
Tetapi saat ini ia mengalami kesakitan luar biasa. Itulah sebabnya ia perlu memanggil dan mengumpulkan tua-tua gereja agar dapat mengadakan semacam “pengakuan dosa”.
“Benar Bapa, saya mengaku kalau saya pernah marah kepada suami saya sewaktu hamil muda dulu. Saya kadang-kadang perang mulut dengan suami saya,” aku Lanigwe dengan wajah tertunduk.
Wajahnya semakin basah oleh keringat. Bukan hanya oleh panas nyala api di dalam honai, tetapi juga Lanigwe berjuang menahan rasa sakit hendak melahirkan.
Beberapa tua-tua gereja kemudian menasihati Lanigwe maupun Manasye Wanimbo supaya sebagai suami-istri tetap saling mengasihi dan menghormati. Baik Manasye dan Lanigwe, keduanya berjanji untuk memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi nasihat tua-tua gereja tersebut.
Sedang Wellington, anak keluarga Manasye yang berumur empat tahun, duduk terdiam di pangkuan Manasye. Ia menatap ibunya yang terus-menerus menahan sakit akibat kontraksi…
Mengakhiri pertemuan itu, Bapa Ambe Wonda mengajak Lanigwe, Manasye, dan Wellington berdoa untuk proses persalinan Lanigwe. Selanjutnya tua-tua gereja keluar dari dalam honai, pulang meninggalkan Lanigwe sendirian untuk menjalani proses persalinan.
Mama Lileki, yang lebih dikenal dengan Mama Tigi-Tigi, istri gembala Musa Gire, yang kebetulan pernah belajar kesehatan dari Misi, berkata, kalau ibu-ibu di Kanggime melahirkan bayi, ia menjalani prosesi persalinan sendirian, tanpa bantuan seorang pun. Mula-mula ibu akan melahirkan dengan cara sinjang (setengah jongkok). Kemudian bayi yang dilahirkan, dipegang oleh ibu. Lalu tali pusat dipotong dengan sebilah sembilu yang tajam.
Bayi lalu dibungkus sendirian oleh ibu ke dalam kain lampin, dan ari-ari baru kemudian dikeluarkan. Selanjutnya untuk menghentikan pendarahan, si ibu akan duduk di atas daun-daun yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan api di dalam honai tersebut.
Semua proses persalinan ini dilakukan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Lanigwe juga mengalaminya ketika melahirkan anak keduanya. Kalau persalinan lancar, memang tidak ada masalah. Tetapi seringkali yang terjadi, ari-ari ketinggalan di dalam perut. Maka, ibu yang melahirkan tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk duduk di dekat tungku api. Ia lalu mengumpulkan sisa-sisa abu perapian yang masih hangat di dalam honai itu, dan meletakkannya di atas perut hingga ari-ari itu keluar….
Tengah malam, kami mendengar kabar bahwa anak kedua Manasye Wanimbo sudah lahir. Bayi perempuan. Baik ibu dan bayi yang baru saja dilahirkan, semuanya dalam keadaan sehat.
Pagi hari, kami datang ke dalam honai, tempat Lanigwe semalam melahirkan. Kami mengucapkan selamat atas kelahiran anak kedua tersebut. Sekalipun wajah Lanigwe tampak kelelahan, ia tersenyum bahagia. Lanigwe masih berusaha bertahan duduk di atas tumpukan daun-daun yang dipanaskan sebelumnya. Dipeluknya anak itu, lalu sesekali diciuminya.
Demikian juga terlihat Manasye Wanimbo, tampak bahagia dengan kehadiran anaknya yang kedua. Kelak anak kedua ini diberi nama Ameira Wanimbo.
Memang, ibu-ibu di pedalaman Kanggime adalah wanita yang perkasa. Karena dua atau tiga hari kemudian setelah melahirkan, sambil menggendong bayi dalam noken yang berjumlah tiga empat lapis itu, ibu-ibu itu sudah mulai berangkat lagi ke kebun. Mereka mencari ubi atau hasil bumi lainnya untuk makanan sehari-hari.
Suatu kali, pernah saya bertanya kepada beberapa murid laki-laki sekolah menengah pertama (SMP) di Kanggime, tempat saya mengajar (maklumlah murid-murid SMP saya sebagian memang ada yang sudah menikah, dan mempunyai anak), “Kalau nanti kalian menikah, kira-kira perempuan macam apa yang akan menjadi istrimu?”
Jawabannya sangat mengagetkan. Rupa-rupanya bukan perempuan yang langsing, cantik, pandai berdandan, atau seperti miss world yang menjadi kriteria utama. Bagi murid atau sebagian laki-laki di Kanggime, apa yang disebut “cantik” adalah perempuan yang kuat dan suka bekerja keras, bertubuh dan berperut (sedikit) besar….
Begitulah sedikit banyak potret wanita di pedalaman Kanggime sehari-hari. Tetapi terus-terang, menjadi wanita di pedalaman Kanggime tidaklah mudah. Masalah yang mereka hadapi sangatlah kompleks.
Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, secara ekonomis, wanita di pedalaman Kanggime menjadi penunjang ekonomi keluarga dengan bekerja di kebun untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari dan menambah penghasilan keluarga. Lebih-lebih pada zaman dahulu, sewaktu masih sering terjadi perang antarsuku. Maka ada pembagian antara honai laki-laki dan honai perempuan. Tugas untuk kebutuhan sehari-hari lebih banyak dilakukan para wanita. Sedangkan pihak laki-laki dengan kapak batu dan panahnya bersikap melindungi keluarga atau kelompoknya. Kaum lelaki selalu waspada, berjaga-jaga terhadap serangan musuh dari suku lainnya.
Kedua, secara kultural, sama seperti masyarakat pedalaman umumnya, wanita Kanggime mengalami sebuah “lompatan peradaban” atau “gegar budaya” sewaktu para misionaris masuk ke Kanggime tahun 1960-an. Karena itu, di satu sisi mengalami proses akulturasi antara dua kebudayaan atau lebih. Di sisi yang lain, wanita mau tidak mau menjadi pewaris sekaligus penjaga nilai-nilai tradisional yang harus diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Itu sebabnya masyarakat di pedalaman tidak kehilangan jati dirinya sebagai sebuah suku atau komunitas.
Ketiga, secara sosial, wanita Kanggime yang masih sederhana dan belum tahu banyak kemajuan dan perubahan zaman, harus berhadapan dengan tawaran “nilai-nilai baru” yang mengatasnamakan modernitas. Akibatnya, wanita Kanggime sedikit banyak merasa gamang dengan perubahan tersebut. Tetapi dengan segala keterbatasannya, biar bagaimana pun wanita Kanggime harus menghadapinya.
Setidaknya ada tiga tanggapan terhadap modernitas, yaitu modernitas philia, modernitas phobia, atau modernitas secukupnya. Misalnya, tanggapan masyarakat Kanggime — termasuk wanita – terhadap rumah yang terbuat dari papan, yang di Kanggime biasa disebut “rumah sehat”. Sebagian orang Kanggime lebih senang tinggal di dalam honai. Karena di samping hangat, tidak memerlukan selimut, juga persekutuan dalam keluarga lebih mudah terjaga. Sedangkan rumah sehat, rupanya memerlukan banyak perlengkapan atau alat rumah tangga, yang di Kanggime sendiri tidak ada yang menjual sehingga harus didatangkan dari kota. Akibatnya, sekalipun masyarakat sebagian membangun rumah sehat, tetapi tak jarang, mereka tetap tidur di dalam honai.
Keempat, secara spiritual. Wanita Kanggime dan hubungannya dengan spiritualiras keagamaan, setelah Injil diberitakan tahun 1960-an, tentu saja menyebabkan perubahan cukup besar. Bukan hanya kepercayaan terhadap agama suku setempat dan pandangan hidup, tetapi juga berubahnya cara pandang masyarakat yang bersifat kosmologis. Hal ini sudah pasti juga mempengaruhi pandangan kaum wanita dalam melihat dirinya sendiri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat.
Misalnya, sistem dan struktur masyarakat yang bersifat patriarkhi, di mana peranan laki-laki begitu dominan. Maka, sewaktu mengalami perjumpaan dengan spiritualitas agama Kristen, sistem dan struktur masyarakat yang bersifat patriarkhi sedikit banyak mengalami tranformasi budaya. Ini karena nilai-nilai spiritualitas keagamaan yang bersifat setara (egaliter) dan emansipatoris berlahan-lahan mengubah budaya setempat. Misalnya, wanita berhak pula untuk maju dalam segi pendidikan.
Tentu saja tidak selalu mudah bagi kaum wanita di pedalaman Kanggime untuk menerapkan nilai-nilai spiritual keagamaan dengan struktur dan sistem di dalam masyarakat yang sudah berlaku turun-temurun. Tetapi suatu tanda bagi maju mundurnya sebuah budaya masyarakat adalah fleksibilitas masyarakat itu terhadap perubahan zaman, tanpa kehilangan nilai dan norma, akar dan jatidiri masyarakat tersebut.
Dan para wanita di pedalaman Kanggime sadar betul akan tugas dan tanggung jawab ini. Maka, meskipun dirasa berat, namun harus tetap dijalani….
*)Penulis pernah menjadi utusan Injil di Papua selama belasan tahun, kini melayani di RS Imanuel Bandar Lampung
Tidak ada komentar: