Pelanggaran Hak Asasi Manusia 51 Tahun Integrasi Papua dengan Indonesia Sejalan Dengan Pelanggaran HAM
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy (Foto: Ist) |
Hingga menjelang akhir tahun 2014, intensitas kekerasan negara terhadap rakyat sipil di Tanah Papua yang identik dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terus meningkat dan tidak pernah memperoleh suatu penyelesaian secara hukum sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 51 tahun usia integrasi Tanah Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini adalah sama dengan 51 tahun usia terjadinya pelanggaran HAM yang terus-menerus tak berkesudahan.
Pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud tergambar dalam berbagai kasus yang muncul dalam catatan Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Dimana pelanggaran tersebut terjadi secara struktural dalam bentuk lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 yang melegitimasi penyelenggaraan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang oleh Pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tersebut.
Sedangkan di dalam Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh DR.J.H.Van Roijen serta Mr.C.Schurmann atas nama Pemerintah Kerajaan Belanda dan DR.Subandrio atas nama Pemerintah Republik Indonesia ketika itu dalam jabatannya selaku Menteri Luar Negeri.
Di dalam perjanjian yang terdiri dari 29 pasal tersebut, sedikit pun tidak pernah tertulis kata PEPERA versi Pemerintah Indonesia, tetapi hanya tertulis kata Act of Free Choice atau Tindakan Pilihan Bebas yang diatur di dalam pasal 14 hingga pasal 21 dari Perjanjian New York (New York Agreement) tersebut.
Penyelenggaraan Act of Free Choice di pertengahan tahun 1969 tersebut hingga saat ini terus menuai protes dan kritik dari rakyat Papua hingga dibahas di dalam Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000, bahkan diangkat dan ditempatkan sebagai salah satu akar masalah terjadinya konflik sosial-politik yang senantiasa berujung kekerasan sepanjang 50 tahun Papua berintegrasi dengan NKRI.
Negara senantiasa menggunakan "justifikasi" penyelenggaraan "PEPERA" yang masih menjadi sumber perdebatan publik tersebut kemudian sebagai dasar dalam menerapkan pendekatan militer dan keamanan dalam merespon segenap aksi-akasi protes dan demonstrasi politik rakyat Papua dengan ancaman pasal 106, 108 dan 110 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai cara represif dalam membungkam kebebasan berekspresi rakyat.
Sehingga akibat yang senantiasa terjadi kekerasan yang berdimensi pelanggaran hak HAM sebagaimana diatur di dalam pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu mengenai definisi dan pengertian dari Pelanggaran HAM Berat, yang terdiri dari Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.
Namun demikian, sayang sekali karena tidak pernah ada penyelesaian secara hukum yang dilakukan oleh negara terhadap setiap pelaku kekerasan yang berdimensi pelanggaran HAM tersebut, termasuk dalam beberapa kasus seperti Biak berdarah 6 Juni 1999, Wasior berdarah Juni-Oktober 2001, Wamena berdarah 2000, Aimas - Kabupaten Sorong, Papua Barat 30 April 2013 dan Enarotali - Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 8 Desember 2014.
Sehingga para pelaku yang diduga keras berasal dari institusi keamanan negara seperti TNI dan Polri tidak pernah terjamah oleh hukum alias impunitas senantiasa bersemi dalam penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di atas Tanah Papua semenjak 1 Mei 1963 hingga dewasa ini menjadi berusia 51 tahun.
LP3BH Manokwari ingin mendesak Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo dalam rencana kunjungannya dan merayakan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014 agar melakukan segera langkah-langkah penting dalam menyelesaikan berbagai masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang 51 Tahun (1963 - 2014).
Adapun langkah Presiden dapat dimulai dengan memerintahkan Gubernur Papua dan Papua Barat untuk mengimplementasikan amanat pasal 45 dan dan 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua yang berkedudukan di Jayapura serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan menggunakan Keputusan Presiden.
Presiden Jokowi juga dapat segera memerintahkan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diberikan kewenangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia serta Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 19993 tentang Komnas HAM.
Kewenangan tersebut agar Komnas HAM dapat segera menginvestigasi secara hukum Kasus Enarotali - Kabupaten Paniai, 8 Desember 2014, guna mengungkapkan indikasi dan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus tersebut, sekaligus membawa dan menghadapkan pelakunya di muka Pengadilan HAM yang Bebas dan Transparan di Indonesia.
LP3BH juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera mewujudkan niat dan kehendak luhurnya untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua dengan hati melalui pendekatan dialog yang damai dan bermartabat dengan seluruh elemen rakyat Papua, termasuk kalangan diaspora di luar Indonesia serta kelompok-kelompok resisten baik dari kalangan militan maupun politik yang ada di dalam dan di luar negeri. Hal ini penting demi membangun Papua Tanah Damai yang menjadi idaman semua pihak.
*Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Pemenang Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada.
Tidak ada komentar: